Belajar menulis jenis esai kritik adalah dengan memahami kecenderungan isi yang terkandung di dalamnya. Disebut kritik karena memberikan penilaian baik atau buruk, memberikan manfaat atau tidak, kelebihan dan kekurangan suatu hal tentang sebuah karya seni, musik, film maupun karya sastra.
Tujuan penulis adalah menyampaikan pendapatnya kepada masyarakat tentang sebuah karya untuk bisa direnungkan bersama. Salah satu jenis esai kritik dalam kesusastraan disebut sebagai kritik sastra. Berikut adalah contoh esai kritik yang bisa dipelajari baik dari segi gaya khas penulisan seorang Goenawan Mohamad.
Esai Kritik
Contoh esai kritik berjudul “Batman”
Batman
Oleh: Goenawan Mohamad
Batman tak pernah satu, maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak ”Batman Begins” (2005) sampai dengan ”The Dark Knight Rises” (2012) berbeda jauh dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.
Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi setiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.
Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tetapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama.
Tak ada yang–sama yang jadi model. Yang ada adalah simulakra—yang masing-masing justru menegaskan yang–beda dan yang–banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singularis, tak bisa dibandingkan. Mana yang ”asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi.
Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Akan tetapi, arkeologi yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir.
Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik “Night on Earth” karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri archeologists of the impossible.
Para awalnya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran televisi.
Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai penjelmaannya.
Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller.
Semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi pelawan laku kriminal.
Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Namun, sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Hal yang lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya.
Sebab itu Kota Gotham dalam “Night on Earth” bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesuatu yang ”utuh” dan sesuatu yang kacau.
Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah ”dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebihan.
Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak, Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang diakibatkannya.
Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih— justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.
Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam ”Night on Earth”, dunia mirip ribuan gambar yang berganti-ganti di layar dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.
Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, “Thirteen Ways of Looking at a Blackbird”. Salah satu bait dari yang 13 itu mengatakan,
But I know, too,
That the blackbird is involved
In what I know
Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan ”yang aku ketahui”. ”Yang aku ketahui” tak pernah ”aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan.
Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari ”yang aku ketahui”. Dunia di luarku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.
Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam “The Dark Knight Rises”, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim ”aku tahu”.
Belajar Menulis Esai Kritik
Membaca contoh esai kritik yang ditulis Goenawan Mohamad di atas, ada beberapa hal yang harus kita pahami dengan baik.
Mengingat esai kritik adalah mengkritisi sebuah karya, tentunya kritik disampaikan bukan sebagai umpatan atau makian yang tak berdasar.
Bagaimanapun, sebuah karya yang dikritik adalah hasil kerja keras. Menjadi elok jika sebuah esai kritik memantaskan diri dengan pengetahuan dan pengalaman yang mendalam. Jika itu tentang film, maka wawasan film kita juga harus cukup. Demikian pula dengan wawasan kita terhadap karya seni lainnya.
Berbeda jika kita menceritakan pengalaman usai menonton film, pertunjukan teater, menghadiri pameran lukisan atau setelah membaca sebuah buku novel, hal tersebut bisa ditulis dengan sederhana, santai dan ringan dalam bentuk esai pribadi.
Jika esai kritik fokus kepada sebuah karya, dalam esai pribadi kita bisa menulis tentang para penonton, harga tiket, suasana ruangan dan lain sebagainya. Dalam kesempatan lain, kami akan membuatkan contoh penulisan esai pribadi.